Home »
Serba-serbi
» PERS, PILAR KEEMPAT (THE FOURTH ESTATE) KREDIBILITAS, KAPABILITAS DAN FUNGSI SOSIAL KONTROL
PERS, PILAR KEEMPAT (THE FOURTH ESTATE) KREDIBILITAS, KAPABILITAS DAN FUNGSI SOSIAL KONTROL
Written By Kantor Berita AWDI Pers on Rabu, 01 Juni 2011 | 15.32
Jakarta, mengutip tulisan bangsawan dan pemikir Swiss Benyamin Constant (1767-1843)”Dengan surat kabar kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat akan selalu muncul penindasan” mengingatkan bahwa demokrasi tidak dapat berdiri tegak tanpa memiliki empat pilar. Pilar legislatif sebagai fungsi aspirasi rakyat, eksekutif sebagai fungsi pemerintahan, yudikatif dan pers sebagai fungsi civil society. Ada statemen upaya pembelokan persepsi pilar menjadi dasar Negara (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika). Upaya penolakan adagium pers sebagai social control masyarakat.
Adagium pers sebagai pilar demokrasi keempat (the fourth estate) merupakan sebuah factual yang tidak dapat dipungkiri.
Mengutip pembicaraan H. Moh. Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstusi/MK) mengenai 4 pilar demokrasi, H. Moh Mahfud MD menggambarkan unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif di Indonesia sedang sakit.
“Legislatif sedang sakit. Terjadi transaksi politik yang tidak kredibel,. Aspirasi yang kita salurkan ke legislatif kebanyakan digoreng dan dijual untuk kepentingan politik.” Ujarnya.
Namun, bagaimana pun sakitnya unsur legislatif harus tetap ada dan dihormati. Kalau legislatif tidak ada maka demokrasi tak akan bisa dibangun.
“Kondisi eksekutif juga dilanda sakit. Dari tingkat pusat hingga daerah. Maraknya praktik KKN (korupsi Kolusi dan Nepotisme), feodalisme sampai transaksi politik,”Kita (Indonesia, Red) belum mampu bergerak lebih bersih dan bebas KKN. Saya sering kedaerah dan mendapatkan pengakuan masyarakat bahwa sekarang masih sama seperti zaman orde baru,” ujar Mahfud.
Yudikatif menurut Mahfud, lebih “gila” lagi. “lembaga peradilan seperti tempat jual beli perkara, meskipun telah ada upaya untuk memperbaikinya. Kalau kita lihat laporan ICW dan tindakan MA yang menjatuhkan sanksi kepada para hakim, itu membuktikan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini yudikatif kita masih sakit,”ujarnya.
Mahfud kemudian menyatakan sesungguhnya terdapat empat pilar demokrasi yakni legislatif, eksekutif, yudikatif dan pers dalam perannya sebagai civil society. Dari empat pilar itu, Mahfud meragukan kredibilitas ketiga pilar dan hanya mempercayai pers. Meskipun ia merupakan bagian lembaga yudikatif (Mahkamah Konstitusi).
Pers dimata Mahfud MD, masih sebagai lembaga publik yang tetap memegang teguh kebenaran, dan pers yang dapat diandalkan untuk mengobati ketiga pilar demokrasi yang sedang sakit itu.”itu sebabnya kalau kunjungan ke daerah-daerah, saya selalu menyempatkan diri ke media massa karena saya percaya pers masih bersih, meskipun ada sedikit yang nakal tetapi masih bisa diperbaiki,”ujarnya.
Pada masa orde baru, media eletronik belum secanggih sekarang. Banyak informasi tertutup bagi masyarakat. Penerbitan surat kabar dibatasi. Kebanyakan surat kabar masa itu hanya merupakan ‘corong’ pemerintah. Control koordinasi dan distribusi merupakan hak penuh pemerintah dengan label Departemen Penerangan. Bila ada tulisan yang agak menusuk sedikit, tanpa ampuh pemerintah akan membreidel media massa tersebut.
Pada masa reformasi keadaan berubah. Saat ini, kebijakan mengenai media massa sudah bukan merupakan hak absolute pemerintah. Pembubaran departemen penerangan oleh Gus Dur menjadi sebuah bagian penting terjadinya reformasi berita.
Euphoria terjadi. Media massa bermunculan bak cendawan dimusim hujan. Segala warna segala rupa, segala kwalitas dan segala cara. Ada media harian yang harus peras dana karena tuntutan cetak setiap hari tanpa peduli ada yang membaca atau tidak. Media mingguan, dua mingguan atau bulanan dengan penerbitan rutin. Ada pula media yang terbit hanya pada saat diperlukan’ (pada saat ada kasus). Berbarengan pula dengan munculnya insan pers.
Bila dulu wartawan harus memiliki latar belakang pendidikan, standar referensi tulisan, spesifikasi pengalaman atau memiliki akses ke jaringan. Kini muncul banyak pewarta dengan ragam criteria / karakter. Ditambah pula mudahnya mendapatkan kartu dengan label pers pada beberapa media. Ada yang tetap teguh berkonsistensi, idealis murni, idealis realistis sampai ‘idealisme oportunistis’.
Kemerdekaan pers mulai dikotori oleh wartawan tanpa kredibilitas dan kapabilitas. Banyak istilah bermunculan seperti wartawan CNN (Cuma nanya-nanya), WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar) sampai istilah tentara “lapan Enam” yang berarti aman terkendali sudah berubah persepsi. Ettapi, masih banyak rekan pers sejati yang harus mengorbankan nyawa seperti rekan kita AWO yang terbunuh di Nangroe Aceh Darussalam, di Merauke, wartawan yang diancam akan dibunuh karena meliput pabrik di tangerang dan masih banyak lagi.
Janganlah akhirnya kita juga menjadi bagian pilar yang sakit. Insane pers sejati tentunya tidak akan pernah mau membiarkan keadaan akan berlanjut sampai kearah kehilangan kepercayaan publik. Pers harus mampu menjaga kredibilitas, menjaga norma-norma sesuai dengan etika. Harus mampu menggapai kapabilitas dengan terus mengasah diri sehingga semakin. Pers harus mampu tetap tegak menyangga pilar demokrasi. Mengawasi segala macam ketimpangan mencegah terjadinya penindasan, pembodohan masyarakat, mampu menjaga kepercayaan dan menyuarakan kebenaran.
Biarkan kita tetap menjadi salah satu tiang penyangga tegaknya demokrasi di muka bumi Indonesia ini.
Jangan berubah dan jangan pula insan pers yang membuatnya berubah. Tidak akab banyak uang ‘bensin’ yang masuk ke kantong kita tetapi kita mendapat pengakuan atas fungsi social control.
Bukan dari pejabat, bukan dari anggota dewan terhormat tapi dari masyarakat.
Pedoman pelaksanaan jurnalis : 1. Pasal 28 UUD 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undnag-undang , 2. UURI No. 40 tahun 1999 Pers, 2. UURI No. 14 tahun 2008 Keterbukaan Informasi Publik, 3. Kode Etik Jurnalis. (Lina Butar-butar)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !