Ada suatu peristiwa penting yang sudah cukup lama berlalu dan kurang mendapat perhatian masyarakat, yakni ditandatanganinya kerjasama antara Universitas Islam Negeri (UIN, dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan perhimpunan Indonesia Tionghoa di Jakarta pada 30 Mei 2002 yang lalu. Dalam ceramah ilmiah yang disampaikan pada acara tersebut, Prof. Dr. Nurcholish Madjid (almarhum) mengungkapkan dua hal penting, yakni tentang Islam dan keberadaan komunitas Tionghoa di Indonesia.
Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan umatnya untuk belajar sampai ke negeri Cina menunjukkan bahwa umat Islam dan orang Tionghoa sejak ssat itu sudah saling mengenal. Menurut Cak Nur, munculnya Islam telah menghapus batas-batas kepemilikan ilmu oleh suatu bangsa. Ilmu pengetahuan tidak lagi milik (menjadi monopoli) bangsa tertentu, tetapi bisa menjadi milik bangsa mana saja yang mau mempelajarinya. Atas dasar ini menjadi tidak aneh bila Nabi Muhammad SAW memerintahkan (bukan mengharamkan) umatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan dari bangsa Cina.
Cak Nur mengungkapkan betapa besar peranan Islam dalam merangkum ilmu untuk memajukan peradaban umat manusia terutama pada masa awal perkembangannya di wilayah Timur Tengah yang sangat strategis. Sementara itu, mereka yang datang dari negeri Cina dan membentuk komunitas Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa, telah menjadi penyebar agama Islam. Bahkan menurut sejarah, kebanyakan Wali penyebar Islam di Jawa adalah orang-orang Tionghoa.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya sinergi multidimensi antara Islam dan Tionghoa sejak lama. Juga terbukti bahwa Nabi Muhammad SAW bukan hanya mengakui eksistensi bangsa Cina, tetapi juga menghargai bahkan memerintahkan umatnya untuk belajar kepada mereka. Karena itu sangat disayangkan bila di kemudian hari (dewasa ini) umat Islam di Indonesia masih bersikap memandang sebelah mata bahkan memarjinalkan komunitas Tionghoa padahal semua berstatus sama sebagai warga negara Indonesia. Ada sikap diskriminatif yang dilatarbelakangi sentimen primordial bernuansa SARA.
Cak Nur menyoroti ada semacam stigmasasi negatif terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia dan tetap memandangnya sebagai dedikati. Padahal mereka sebagai suku Tionghoa, juga pemilik sah negeri seperti halnya suku jawa, suku Madura, suku Minang dan lain sebagainya. Pemupukan stereotipe negatiof terhadap komunitas Tionghoa ini menurut Cak Nur tidak menguntungkan bagi perkembangan suatu peradaban. Sebab peradaban yang memupuk diri dan selalu dengan stereotipe negatif akan mengalami kematian intelektual. Sebaliknya, suatu peradaban akan semakin kaya jika berinteraksi dengan budaya-budaya lain.
Karena ini yang diharapkan, dengan adanya kerjasama antara sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam (dalam hal ini UTN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa dapat membuka sinergi yang lebih baik dan bersifat yang lebih baik dan bersifat multidimensi. Dengan adanya perjanjian kerjasama tersebut, bukan hanya dapat dibangun proses interaksi dibidang keagamaan (saling menghormati dalam perbedaan berdasarkan prinsip pluralisme) tetapi juga dalam kegiatan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik.
Mari kita hapuskan segala bentuk stereotipe negatif, juga stigmatisasi negatif dengan sesama anak bangsa ini. (HD. Haryo Sasongko)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !