Headlines News :
Home » » INDONESIA TERUS BERGULAT DALAM PARADOKS

INDONESIA TERUS BERGULAT DALAM PARADOKS

Written By Kantor Berita AWDI Pers on Senin, 20 Desember 2010 | 18.25

Buku ini sengaja saya beri judul Indonesia Bergulat Dalam Paradoks, karena memang secara factual Bangsa Indonesia terus bergulat dalam paradoks. Pergulatan itu untuk mewujudkan tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan. NKRI juga bercita-cita menjadikan segenap anak bangsa, tanpa kecuali, menjadi makmur, sejahtera dan maju, memperoleh keadilan dan mendapatkan perlindungan untuk memperoleh rasa aman. Tetapi realisasinya masih dalam pergulatan. Pergulatan itu penuh paradoks. Saya ingin mengambil beberapa contoh berdasarkan pengalaman pribadi :
Pertama, setelah serdadu dan aparat penjajah Belanda meninggalkan negeri ini pada Desember 1949, Rakyat Indonesia membayangkan akan benar-benar bebas dari penjajahan, penghisapan dan penindasan. Realitanya penjajahan, penghisapan dan penindasan  yang pernah dialami oleh Indonesia selama 350 tahun itu masih juga berlanjut; dulu oleh bangsa asing kini oleh bangsa sendiri.
Paradoks seperti itu sudah dimulai tidak lama setelah aparat Belanda meninggalkan Indonesia. Ketika itu saya masih duduk dibangku Sekolah Rakyat (SR) tahun-tahun terakhir 1950, 1951 di Saribudolok, Pematang Siantar ratusan Kilometer dari Medan, keluhan mengenai penyalahgunaan wewenang oleh aparat pemerintah sudah menjadi topik pembicaraan di rumah, juga dikalangan rakyat banyak. Ketika itu ayah saya, Herman batubara, bekerja sebagai mandor Pekerjaan Umum (PU). Ia mengepalai sekitar 15 Kuli. Ayah saya bertugas merawat jalan raya kabupaten. Kakak saya, Korlina – 13 tahun lebih tua dari saya lulusan Sekolah Belanda dan mantan tentara wanita (Veteran pejuang barisan Srikandi) di usia muda sudah menjadi janda. Suaminya, camat pertama di Saribudolok diculik oleh pelaku revolusi sosial Sumatera Timur dan jasadnya tidak pernah diketemukan. Hanya namanya, Djauli Girsang, diabadikan menjadi salah satu jalan utama di Saribudolok.

Abang saya Maruli sembilan tahun lebih tua dari saya mantan tentara pelajar (veteran pejuang tentara pelajar) berbekal ijazah HIS (SD Berbahasa Belanda) dan IMS (Setara SMP) Pematang Siantar dan surat keterangan mantan tentara pelajar, dia melamar dan mengikuti testing penerimaan menjadi calon polisi yang akan disekolahkan  ke Jawa. Karena tidak mampu membayar sisip yang diminta penguji di Pematang Siantar, sogok disebut Sisip impian abang Maruli menjadi polisi tetap menjadi impian alias tidak terwujud.
Saya tumbuh dalam suasana kekecewaan. Ayah saya Herman Batubara, ibu saya Intanim br. Purba, kakak Korlina, abang Maruli dan adik Oloan khawatir akan konsep Indonesia yang diidamkan rakyat disimpangkan dan dikhianati. Kami mengeluh, para pemimpin mulai secara terang-terangan menyalahgunakan kekuasaan. Mereka para pemimpin itu digaji untuk melayani rakyat, digaji untuk menjadi ”bature” rakyat (abdi rakyat) guna mewujudkan dan menyejahterakan  rakyat, ternyata mereka telah menjadi Bapak bado. Masyarakat sekitar Danau Toba mengenal sejenis ikan air tawar bernama ikan bado (haruting, ikan gabus). Jenis ikan itu,  seperti buaya,  memakan anak-anaknya sendiri. Mereka dianalogkan bagai ikan bado yang tega memakan anak-anaknya sendiri, rakyat sendiri.
Paradoks yang menimpa komunitas kami itu juga terjadi di daerah-daerah lain. Rakyat baru saja bebas dari penjajahan, penghisapan dan penindasan bangsa asing, tetapi para pimpinan dengan cepat bermetamorfosis menjadi bapak bado, bapak yang memeras, memungli dan memakan hak-hak rakyatnya. Keberpihakan abang Maruli terhadap anak-anak bangsa yang terzolimi berujung menjadi pecundang. Ia mengisahkan perjuangannya dalam buku Pergulatan Hidup Pak Datu, (Jakarta 2000). Buku itu sangat mengilhami saya untuk kemudian menulis buku ini.
Kedua, ketika itu tahun 1956-1957 satu dua tahun setelah Pemilu pertama. Saya masih siswa Sekolah Guru Atas (SGA) Santa Maria Jl. Medan Merdeka Timur No. 2 Jakarta. Sebagai   pembaca setia Harian Indonesia Raya, saya terusik, karena Pemimpin Redaksi surat kabar yang saya idolakan itu. Mochtar Lubis, ditangkap  dan ditahan oleh aparat keamanan pemerintahan Presiden Soekarno. Mochtar Lubis dikenal sebagai wartawan yang berani, bergulat melawan kebatilan dan kritis terhadap kinerja pemerintah. Ratusan an ak bangsa mengirim surat ke Presiden Soekarno lewat Redaksi Indonesia Raya agar membebaskan Mochtar Lubis, dan penulis surat itu siap penggantikannya di penjara. Salah satu dari penulis surat itu adalah saya.
Kemudian, diawal tahun 1966 saya bersama puluhan ribu mahasiswa lainnya ikut berdemonstrasi untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno. Keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut berdampak ratusan tahanan politik dibebaskan. Mochtar lubis yang telah dibui selama sembilan tahun dibebaskan dari penjara 17 Mei 1966. untuk menyampaikan hormat saya ayas perjuangan dan pengorbanannya, saya mengunjungi Mochtar Lubis di rumahnya Jalan Bonang 17, Dekat tempat dimana hampir 21 tahun sebelumnya Soekarno Hatta memproklamasikan pembebasan Indonesia dari penjajahan, penghisapan dan penindasan. Kekaguman saya terhadap tokoh Mochtar Lubis terus terpatri di hati. Saya sungguh bahagia ketika sejumlah orang-orang pers menerbitkan buku berjudul Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Peluncuran buku itu dipilih pada syukuran hari ulang Mochtar ke 70 tanggal 7 Maret 1992 di Gedung Dewan Pers Jakarta. Mochtar memberi saya satu buku dengan  catatan khususnya: ”Sdr. Leo Batubara, dengan salam dan doa semoga Indonesia suatu waktu mencapai cita-cita perjuangan bangsa kita. Mochtar Lubis, 92”
Di usia 82 tahun, pergulatan Mochtar Lubis berakhir. Hari itu Jumat 2 Juli 2004, saya sedang berada di Rumah Sakit Mount Elisabeth Singapura mendampingi abang saya Maruli yang baru mengalami operasi jantung. Tiba-tiba, Short Message Service (SMS) dari Putera saya Bobby di Jakarta mengabarkan : ”Mochtar Lubis yang bapak kagumi telah dipanggil oleh Tuhan yang Mahakuasa.” Saya teringat catatan khusus pada buku itu. Dari catatan itu, saya tidak pernah catatan itu, saya tidak pernah meragukan patriotisme Mochtar Lubis. Dia lewat profesinya bergulat demi Indonesia yang lebih baik, imbalan yang dia terima bui dan suratkabarnya dibredel. Perjuangan Mochtar Lubis, adalah pergulatan dalam paradoks.
Ketiga, saya mencatat, pergulatan negeri ini pada hakekatnya adalah pergulatan agar Indonesia diselenggarakan berdasarkan sistem dengan mempedomani kontrak sosial Agustus 1945. Pertama, bahwasanya kurang lebih 500 etnis penghuni bumi nusantara ini berbeda ras, etnis, budaya, bahasa dan agama bersepakat membentu satu negara kesatuan Republik Indonesia. Kedua, negara itu berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan agama tertentu. Ketiga, negara yang didirikan itu bertujuan memajukan dan menyejahterakan segenap rakyat. Keempat, dalam penyelenggaraan  negara, kedaulatan berada di tangan rakyat. Kelima, hak-hak asasi manusia diindahkan dan dihormati. Keenam, kemerdekaan  berserikat, berkumpul dan berekspresi dijamin dan dilindungi. Ketujuh, negara diselenggarakan tidak berdasarkan kekuasaan tetapi bersendikat hukum.
Paradoksnya, penyelenggara negara selama 64 tahun  ini, menurut hemat saya melanggar kontrak sosial tersebut, dan telah nyaris menjadi ”gagal ginjal”. Gambaran umum penyelenggaraan negara, tidak meng ”wongke” kedaulatan rakyat. Tidak bersendikan hukum yang independen,  responsif, adil  dan memihak rakyat. Tidak berorientasi menghargai hak-hak asasi manusia. Berpola pikir dan pola tindak korupsi, kolusi dan nepotisme serta melakukan pembiaran  terhadap praktik-praktik narkoba, judi liar dan pengrusakan lingkungan. Memonopoli penentuan pengambilan keputusan kebijakan nasional dan lokal tanpa menyertakan partisipasi  publik. Tidak transparan dan berkecenderungan merepresi dan mengendalikan kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan pers. Bertradisi tanpa akuntabilitas. Penyelenggara negara dapat dikatakan sebagai ”gagal ginjal”, bila pola pikir dan pola tindaknya justru bertentangan dengan tugas pokoknya, dan tindakn-tindakan seperti itu berdampak penyebaran virus-virus pengrusakan sistem penyelenggaraan negara.
Keempat, Pergulatan Indonesia dalam paradoks berlanjut dan tercermin dari pengalaman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) empat setengah tahun pergulatan dalam paradoks. KPK dipuja rakyat karena berhasil mengirim delapan anggota DPR, dua menteri, tiga gubernur, tiga mantan dubes, tiga penegak hukum dan lima pimpinan  Bank Indonesia (BI) ke penjara. Paradoks dari kisah tersebut, pejabat-pejabat itu sesuai janji dan sumpahnya semestinya berbakti kepada kepentingan memajukan dan menyejahterakan rakyat. Tetapi  karena korupsi mereka dipenjarakan. Paradoks berikutnya, Ketua KPK Antasari Azhar ditahan polisi terkait kasus pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Menyusul kemudian Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri dengan tuduhan  yang berubah-ubah dan akhirnya ditahan setelah dinilai banyak memberikan keterangan pers. Mereka dianggap mempersulit pemeriksaan dan membentuk opini masyarakat. Penahanan Bibit Chandra mendapat reaksi keras dari publik. Presiden pun membentuk Tim 8. tudingan kriminalisasi KPK menguat dan seakan memperoleh pembenaran terkait diputarnya rekaman hasil penyadapan telepon oleh KPK di Mahkamah Konstitusi.                                                                                                                                                                                                                                                                           
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !


 
Support : Creating Website | Edited | Mas Template
Copyright © 2013. Kantor Berita AWDI Pers - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger